
Oleh: Arinal Aziz, anak dari ayah yang berwibawa, M. Abdul Azis, dan ibu yang lembut hatinya Choirul Latifah
Sejak kecil, hidupku tidak pernah jauh dari dunia pendidikan. Aku tumbuh di lingkungan para guru—rumah yang setiap harinya akrab dengan tumpukan buku, suara ayah menulis administrasi pembelajaran, dan pembicaraan tentang murid-murid yang membutuhkan perhatian lebih. Aku bukan sekadar mengenal profesi guru dari jauh; aku hidup di dalamnya.
Daftar Isi
Flashback: Pagi-Pagi Bersama Ayah dan Sepeda Ontel
Salah satu kenangan paling melekat dalam hidupku adalah saat SD. Setiap pagi, ayah mengantarku ke sekolah dengan sepeda ontelnya. Sepeda tua yang sederhana, tapi bagiku rasanya seperti naik kendaraan paling nyaman di dunia. Aku duduk di boncengan belakang sambil mendengarkan nafas ayah yang ritmis mengayuh sepeda.
Di tahun 2003, angin pagi terasa sejuk dan rasa aman karena berada di belakang ayah—semua itu membentuk memori yang sampai sekarang tidak pernah hilang.
Biasanya, setelah sampai di depan gerbang sekolahku, ayah menghentikan kayuhan. Aku turun, menata tas kecilku, lalu berjalan masuk. Tapi hampir selalu, aku menengok ke belakang. Aku melihat ayah kembali mengayuh sepeda ontelnya menuju sekolah tempat beliau mengajar. Punggungnya yang sederhana, jalannya yang tenang, dan keikhlasan yang terpancar tanpa kata-kata.
Setiap kali melihat itu, aku merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan. Hangat. Bangga. Bahagia.
Tanpa sadar, dari punggung ayah yang kembali mengayuh sepeda itulah aku belajar arti sebuah pengabdian.
Ayah: Inspirasi Seumur Hidup
Ayah bukan hanya seorang guru di sekolahnya. Beliau adalah guru pertama dalam hidupku. Orang yang mengajariku banyak hal tanpa perlu berkata banyak. Dari ayah, aku belajar tentang kesabaran, kejujuran, dan makna keberkahan.
Aku tahu gaji ayah tidak besar. Aku tahu banyak hal dalam hidup harus diatur dengan penuh kehati-hatian. Tapi entah mengapa, hidup kami terasa cukup. Bahkan sering terasa lapang. Dan di situlah aku paham: keberkahan tidak selalu tampak dari angka. Kadang, ia tampak dari hati yang tenang dan hidup yang terasa ringan.
Keputusan Sejak SD: Aku Ingin Menjadi Guru
Mungkin karena sering melihat ayah, atau mungkin karena setiap hari hidupku bersentuhan dengan dunia pendidikan, sejak SD aku sudah punya keputusan: aku ingin menjadi guru. Teman-temanku punya cita-cita yang berbeda-beda—dokter, polisi, pramugari—tapi aku selalu kembali pada satu keinginan itu.
Aku ingin merasakan apa yang ayah rasakan: mengajar dengan hati, memberi manfaat pada orang lain, dan meninggalkan jejak kebaikan dalam hidup banyak orang.
Tahun ke-5 Mengajar: Masih Terus Belajar
Sekarang, aku sudah memasuki tahun kelima sebagai guru. Rasanya perjalanan ini masih sangat panjang, tapi di setiap tahun selalu ada pelajaran baru. Ada murid yang membuatku bangga, ada tantangan yang membuatku kuat, dan ada momen-momen sederhana yang membuatku tersenyum.
Ada masa lelah, tentu saja. Bahkan ada hari ketika aku bertanya pada diri sendiri: “Sudahkah aku mengajar dengan baik?” Tetapi setiap kali aku berdiri di depan kelas, melihat murid-murid yang bersemangat belajar, aku merasa jawabannya kembali jelas: ini jalanku.
Menjadi Anak Guru: Berkah yang Terasa Sepanjang Hidup
Semakin dewasa, semakin aku menyadari bahwa menjadi anak seorang guru adalah berkah besar. Dari ayah, aku belajar menghargai ilmu. Dari kehidupan keluarga kami, aku belajar makna keikhlasan. Dan kini, ketika aku berada dalam profesi yang sama, aku merasakan keberkahan itu mengalir pada langkah-langkahku.
Rezeki guru memang tidak selalu besar dalam bentuk materi. Tetapi cukup. Dan yang paling penting, diberkahi.
Guru: Profesi yang Menanam Harapan
Hari demi hari, aku belajar bahwa menjadi guru berarti menanam harapan. Kita mungkin tidak selalu melihat hasilnya sekarang, tapi kita percaya ia tumbuh. Kita membantu anak-anak menemukan potensinya, membuka pintu masa depan mereka, meski kadang mereka sendiri belum menyadarinya.
Dan itulah keindahan dari profesi ini: kita tidak hanya mengajar, tapi kita turut membentuk masa depan.
Jalan yang Kupilih dengan Bahagia

Ketika aku melihat ke belakang, aku melihat seorang anak kecil yang duduk di boncengan sepeda ontel, memegang tas sekolah, lalu tersenyum bahagia melihat ayahnya mengayuh pergi untuk mengajar. Dan kini, aku berada di jalan yang sama. Jalan yang dulu kulihat dari belakang punggung ayah.
Perjalanan ini masih panjang. Tapi satu hal pasti: aku bersyukur menjadi guru. Bersyukur memilih jalan ini sejak kecil. Dan bersyukur karena Allah memberi kesempatan untuk mengabdi lewat ilmu.
Dari sepeda ontel ayah, hingga kelas-kelas yang kini kuhadapi—semuanya adalah bagian dari cerita indah tentang bagaimana aku menemukan jalan hidupku.

